Teks eksposisi merupakan teks yang
berfungsi mengungkapkan gagasan atau mengusulkan sesuatu berdasarkan
argumentasi yang kuat.
B. Tujuan
B. Tujuan
Tujuannya adalah mengungkapkan gagasan di
dalam tulisan berdasarkan pendapat yang kuat agar pembaca menyetujui atau
melakukan tindakan sesuai yang diinginkan penulis.
C. Ciri-Ciri
C. Ciri-Ciri
·
Terdapat topik dan isu.
·
Penyampaian lugas dan komunikatif.
·
Terdapat fakta berupa data dan angka.
D. Struktur Teks Eksposisi
1. Tesis.
Pada bagian ini, berisikan pendapat atau prediksi dari penulis berdasarkan
sebuah fakta.
2. Argumentasi.
Bagian ini berisi argumen-argumen yang mendukung pernyataan penulis. Penulis
memaparkan serangkaian argumen yang disertai dengan bukti/ fakta untuk
memperkuat argumen tersebut.
3. Penegasan
ulang pendapat. Bagian ini merupakan bagian akhir dari sebuah teks eksposisi
yang berupa penguatan kembali atas pendapat yang telah ditunjang oleh
fakta-fakta dalam bagian argumentasi. Pada bagian ini bisa berisi saran atau
hal-hal yang patut diperhatikan agar pendapat penulis dapat dibuktikan.
E. Contoh Teks Eksposisi
“Kegembiraan
dalam Belajar”
Ahmad
Baedowi , Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Media Indonesia, 09 November 2015
|
Tesis
|
Saya sering memberikan pertanyaan kepada guru dan siswa tentang makna
pengalaman belajar (learning experience). Rata-rata jawaban mereka adalah
kurangnya kegembiraan dalam belajar. Memang, baik guru maupun siswa mengenal
istilah fun learning, tetapi implementasinya jauh dari memadai. Banyak guru
sekadar mencari kesenangan dalam belajar dengan cara mengajak siswa bermain,
menari, dan bernyanyi. Namun jarang sekali dari mereka memahami hakikat
kegembiraan dalam belajar (joyful learning). Pasalnya, apa yang mereka
rekayasa dalam bentuk permainan tidak nyambung (out of context) dengan bidang
studi yang diajarkan.
|
Argumentasi
|
Kegembiraan anak dalam belajar sebenarnya merupakan hak fundamental
yang harus diberikan sepenuhnya. Kegembiraan bukan semata-mata memberikan
mereka permainan di luar ketika mereka belajar tanpa tujuan yang jelas,
melainkan sebuah cara yang menyatu dengan tujuan pembelajaran berjangka
panjang. Banyak sekolah misalnya menghabiskan begitu banyak waktu untuk
bermain, tetapi tak bertujuan serta membuat program kunjungan sekolah hanya
pada waktu libur. Kegembiraan hanya berlangsung sesaat. Bagi para siswa,
tentu saja permainan dan kunjungan wisata yang hanya sesekali itu malah
memberikan mereka beban karena begitu mereka kembali ke sekolah, hanya
kebosanan yang mereka dapatkan.
Salah satu contoh kebosanan mereka dalam belajar dapat terlihat,
misalnya, ketika jam belajar selesai. Semuanya bersorak dan ingin cepat
pulang, atau ketika mereka mendapatkan hari libur. Semuanya merupakan penanda
bahwa sekolah dan belajar merupakan kegiatan yang melelahkan, membosankan,
bahkan menyebalkan. Jika kenyataan-kenyataan ini diperoleh anak-anak kita,
apa yang akan terjadi dengan perkembangan jiwa mereka di masa datang.
Beberapa hasil riset tentang perkembangan mental dan kejiwaan anak-anak
yang dialami ketika mereka belajar menunjukkan secara konsisten dan kuat
bahwa kurangnya keceriaan dan kegembiraan dalam belajar berpengaruh terhadap
kesuksesan masa depan seorang anak. Dalam laporan Center on the Developing
Child (2007) ditunjukkan secara khusus bahwa efek belajar yang menggembirakan
dapat meningkatkan kapasitas arsitektur otak anak, yaitu pada saatnya otak
tersebut akan memberikan pengaruh yang baik dalam membentuk perilaku sosial
dan emosi anak yang cerdas. Ini artinya, pengalaman belajar anak, jika
terjadi secara benar dapat membentuk jalan bagi tumbuhnya motivasi belajar
secara benar.
Jika di masa depan kita menginginkan tumbuhnya karakter jujur dan
kesalehan sosial yang kuat pada diri seorang anak, pendampingan terhadap
proses belajar yang menggembirakan dan menyatu dengan tema yang diajarkan
secara kontekstual penting dilakukan. Penelusuran secara longitudinal
terhadap keberhasilan seorang anak menunjukkan jejak yang kuat bahwa
pengenalan konsep ilmu dan pendampingan orang dewasa menjadi dua hal yang
signifikan untuk dilakukan secara benar.
Dengan demikian, belajar dengan gembira dan ceria yang terprogram dan
terencana secara baik dan berkesinambungan harus ditata secara baik dan benar
dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan dengan setiap bidang studi yang
diajarkan (Schweinhart et al, 2005). Namun demikian, masih banyak kita lihat
kesalahan fundamental terjadi dalam proses meletakkan kegembiraan dalam
belajar.
Beberapa kesalahan itu terlihat dalam proses belajar yang lebih banyak
didominasi tuntutan perkembangan kapasitas akademik anak sehingga anak tak
memperoleh pengalaman belajar yang autentik berdasarkan konteks sosial dan
budaya yang terjadi di tengah-tengah kehidupannya. Selain itu, tak sedikit
dijumpai paradigma yang salah dari para pendidik yang memandang pengalaman
belajar (learning experience) sebagai sebuah kondisi yang sepenuhnya di bawah
kendali dan dipegang guru.
Jika secara definitif makna pengalaman belajar adalah sebuah proses
belajar itu selalu sesuai dengan kondisi aktual yang dialami para siswa,
kegembiraan dalam belajar yang terstruktur dan inovatif merupakan kebutuhan
yang harus dimiliki setiap guru. Ralph Tyler dalam Basic Principles of
Curriculum and Instruction (1926) mendefinisikan pengalaman belajar dengan
kalimat berikut, “The term learning experience is not the same as the content
with which a course deal nor the activities performed by the teacher. The
term learning experience refers to the interaction between the learner and
the external conditions of the environment to which he can react. Learning
takes place through the active behavior of the student; it is what he does
that he learns, not what the teacher does”. Jelas sekali bahwa pemaknaan
pengalaman belajar yang salah lebih banyak disebabkan faktor guru yang tak
memiliki kreativitas dalam merancang pembelajaran yang berkualitas dan
menyenangkan.
Pentingnya pemahaman yang benar tentang pengalaman belajar anak jelas
akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan anak di masa depan. Jika anak
dididik berdasarkan target perkembangan kognisinya semata, kekhawatiran
terhadap masa depan Indonesia akan memiliki cukup alasan. Meskipun dalam
naskah akademik Kemendikbud tentang pendidikan anak usia dini, misalnya,
menyisir paradigma filsafat pendidikan pragmatisme, pemerintah dengan tegas
meminta agar para pendidik tidak boleh memaksakan suatu ide atau pekerjaan
yang tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik.
Dari sisi ini, evaluasi terhadap tenaga pengajar yang tidak memahami
makna pengalaman belajar dan arti pentingnya bagi masa depan pertumbuhan anak
menjadi wajib untuk dilakukan.
|
Penegasan Ulang
Pendapat
|
Dengan berkaca pada
hasil-hasil riset tersebut, jelas sekali harus ada niat baik dari para
penggagas dan praktisi pendidikan untuk mengubah gaya mengajar mereka menjadi
lebih kreatif. Contextual based learning harus menjadi acuan dalam proses
belajar mengajar yang menggembirakan agar anak-anak tumbuh dan berkembang
dengan karakter yang kuat, kecerdasan yang memikat, serta kepedulian terhadap
sesama yang mengikat rasa persatuan dan kesatuan sebagai anak bangsa.
|
F. Ciri Kebahasaan Teks Eksposisi
1.
Pronomia
Pronomina
biasanya digunakan dalam menyatakan pendapat. Pronomina persona yang sering
digunakan seperti kita, kami, dan saya. Terlebih kata pronomina persona saya
banyak digunakan ketika menyatakan pendapat pribadi.
Contoh:
a) Saya
sering memberikan pertanyaan kepada guru dan siswa tentang makna pengalaman
belajar (learning experience).
b) Rata-rata
jawaban mereka adalah kurangnya kegembiraan dalam belajar.
2.
Verba
Verba
yang digunakan adalah yang menyatakan persepsi, seperti percaya dan meyakini.
Verba tersebut digunakan untuk mengubah persepsi pembaca agar menerima pendapat
penulis.
Contoh:
Saya
percaya, pentingnya pemahaman yang benar tentang pengalaman belajar anak jelas
akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan anak di masa depan.
3.
Konjungsi
Konjungsi
yang banyak digunakan adalah yang menghubungkan fakta-fakta sehingga tersaji
runtut (pada kenyataannya, kemudian, dan lebih lanjut) dan konjungsi yang
menyatakan sebab akibat (sebab, karena, sehingga, oleh sebab itu, oleh karena
itu)
Contoh:
a) Bagi
para siswa, tentu saja permainan dan kunjungan wisata yang hanya sesekali itu
malah memberikan mereka beban karena begitu kembali ke sekolah, hanya kebosanan
yang didapatkan.
b) Beberapa
kesalahan itu terlihat dalam proses belajar yang lebih banyak didominasi
tuntutan perkembangan kapasitas akademik anak sehingga anak tak memperoleh
pengalaman belajar yang autentik berdasarkan konteks sosial dan budaya yang
terjadi di tengah-tengah kehidupannya.
1.
Pronomia
Pronomina
biasanya digunakan dalam menyatakan pendapat. Pronomina persona yang sering
digunakan seperti kita, kami, dan saya. Terlebih kata pronomina persona saya
banyak digunakan ketika menyatakan pendapat pribadi.
Contoh:
a) Saya
sering memberikan pertanyaan kepada guru dan siswa tentang makna pengalaman
belajar (learning experience).
b) Rata-rata
jawaban mereka adalah kurangnya kegembiraan dalam belajar.
2.
Verba
Verba
yang digunakan adalah yang menyatakan persepsi, seperti percaya dan meyakini.
Verba tersebut digunakan untuk mengubah persepsi pembaca agar menerima pendapat
penulis.
Contoh:
Saya
percaya, pentingnya pemahaman yang benar tentang pengalaman belajar anak jelas
akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan anak di masa depan.
3.
Konjungsi
Konjungsi
yang banyak digunakan adalah yang menghubungkan fakta-fakta sehingga tersaji
runtut (pada kenyataannya, kemudian, dan lebih lanjut) dan konjungsi yang
menyatakan sebab akibat (sebab, karena, sehingga, oleh sebab itu, oleh karena
itu)
Contoh:
a) Bagi
para siswa, tentu saja permainan dan kunjungan wisata yang hanya sesekali itu
malah memberikan mereka beban karena begitu kembali ke sekolah, hanya kebosanan
yang didapatkan.
b) Beberapa
kesalahan itu terlihat dalam proses belajar yang lebih banyak didominasi
tuntutan perkembangan kapasitas akademik anak sehingga anak tak memperoleh
pengalaman belajar yang autentik berdasarkan konteks sosial dan budaya yang
terjadi di tengah-tengah kehidupannya.
4.
Argumentasi
Satu Sisi
Argumentasi
satu sisi yaitu sisi yang mendukung atau menolak.
Contoh:
a) Kegembiraan
anak dalam belajar sebenarnya merupakan hak fundamental yang harus diberikan
sepenuhnya. (mendukung)
b) Beberapa
kesalahan itu terlihat dalam proses belajar yang lebih banyak didominasi
tuntutan perkembangan kapasitas akademik anak sehingga anak tak memperoleh
pengalaman belajar yang autentik berdasarkan konteks sosial dan budaya yang
terjadi di tengah-tengah kehidupannya. (menolak)
5.
Kohesi
Kohesi
adalah keterkaitan antar-unsur dalam struktur sintaksis atau struktur wacana
yang ditandai antara lain oleh konjungsi, repetisi, dan pelesapan.
Contoh:
Kegembiraan anak
dalam belajar sebenarnya merupakan hak fundamental yang harus diberikan
sepenuhnya. Kegembiraan bukan
semata-mata memberikan mereka permainan
di luar ketika mereka belajar tanpa tujuan yang jelas, melainkan sebuah cara
yang menyatu dengan tujuan pembelajaran berjangka panjang. Banyak sekolah,
misalnya, menghabiskan begitu banyak waktu untuk bermain, tetapi tak bertujuan serta membuat program kunjungan
sekolah hanya pada waktu libur. Kegembiraan
hanya berlangsung sesaat. Bagi para siswa, tentu saja permainan dan kunjungan wisata yang hanya sesekali itu malah
memberikan mereka beban karena begitu mereka kembali ke sekolah, hanya
kebosanan yang mereka dapatkan.
6.
Koherensi
Koherensi
adalah hubungan logis antarbagian karangan atau antarkalimat dalam satu
paragraf.
Contoh:
Salah
satu contoh kebosanan mereka dalam
belajar dapat terlihat, misalnya, ketika jam belajar selesai. Semuanya bersorak dan ingin cepat
pulang, atau ketika mereka mendapatkan hari libur. Semuanya merupakan penanda
bahwa sekolah dan belajar merupakan kegiatan yang melelahkan, membosankan,
bahkan menyebalkan. Jika kenyataan-kenyataan ini diperoleh anak-anak kita, apa yang akan terjadi dengan perkembangan jiwa
mereka di masa datang.
ConversionConversion EmoticonEmoticon